Selasa, 10 Mei 2011

Tamasya diatas derita


Sidang paripurna DPR RIPerbesar Foto
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--JAKARTA--Tiga LSM menemukan beragam fakta dari 58 kali studi banding  atau dari 143 kali kunjungan ke luar negeri yang dilakukan oleh alat kelengkapan (tidak termasuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP) pada keanggotaan DPR periode 2004-2009.
Selain menemukan bahwa hanya tiga laporan yang dipublikasikan di laman DPR (www.dpr.co.id) dan miripnya hasil studi banding yang dipublikasikan dengan informasi di sejumlah laman. LSM juga menemukan hasil studi banding tidak berbanding lurus dengan produknya.
Sebagai contoh, Komisi III sebelumnya telah melakukan studi banding ke Swiss (6-12 Juni 2009) dan Rusia (24-29 Mei 2009) dalam rangka pembahasan RUU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Status RUU tersebut tidak selesai pada DPR periode 2004-2009. Kemudian, DPR periode 2009-2014 memasukkan RUU Pencucian Uang ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2010 dan kembali diprogramkan studi banding ke Perancis dan Australia pada 7-13 Juni 2010.
Kondisi yang sama dipratekkan pula oleh BURT saat melakukan studi banding ke Inggris dan Amerika Serikat (1-7 Mei 2011), dengan dalih studi perbandingan tentang penguatan lembaga parlemen.
Padahal Pansus RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, atau Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang dibentuk pada 2006 lalu telah melakukan serangkaian studi banding, dengan maksud dan tujuan yang sama.

tak ada asap kalo tak ada api Jek

INILAH.COM, Jakarta - Kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram menyeret sejumlah nama politisi Partai Demokrat. Sejumlah nama pun disebut-sebut seperti Bendahara Umum Muhammad Nazaruddin serta Wakil Sekjen Angelina Sondakh. Bagaimana Partai Demokrat bersikap?
Jargon partai anti korupsi yang selama ini dilekatkan ke Partai Demokrat tengah mengalami ujian. Sejumlah politisi Partai Demokrat dikait-kaitkan dalam kasus suap yang menyeret Sesmenpora Wafid Muharram yang kini ditangani oleh KPK. Apalagi Menpora kini juga dijabat Andi Mallarangeng, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat.
Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat Amir Syamsuddin tidak menampik jika persoalan suap Sesmenpora ini menjadi beban bagi Partai Demokrat. "Setiap persoalan menjadi beban kami. Itu realitas yang kami hadapi," akunya kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta, Selasa (10/5/2011).
Terkait mencuatnya sejumlah nama kader Partai Demokrat dalam kasus yang kini ditangani KPK itu, Amir mengaku telah melakukan klarifikasi ke nama-nama yang disebut-sebut terkait dalam kasus itu. "Kami sudah melakukan klarifikasi dengan M Nazaruddin," ujarnya. Nama lainnya yang belakangan juga disebut, dia mengaku juga akan dilakukan klarifikasi. Dia menegaskan Partai Demokrat memberi perhatian cukup besar dalam kasus ini,
Meski begitu, mantan Sekjen DPP Partai Demokrat ini menyebutkan, munculnya sejumlah politisi Partai Demokrat dalam kasus suap ini bukan berasal dari aparat penegak hukum seperti KPK. "Munculnya nama kader kami berasal dari mantan pengacara Rosa, yakni Kamarudin Simanjuntak. Sampai sekarang belum muncul dari KPK," katanya. Amir menegaskan pihaknya sama sekali tidak melindungi kadernya jika secara hukum terlibat dalam kasus tersebut.
M Nazaruddin yang namanya kerap disebut dalam kasus suap ini justru menantang KPK segera bergerak cepat menangani kasus suap ini. "Saya melihat sekarang sudah kemana-mana isunya, bahkan cenderung dipolitisasi. Saya mendukung KPK secepatnya mengungkap ini semua,” katanya sebelum rapat Sidang Paripurna DPR di gedung DPR, Jakarta, Senin (9/5/2011).
Anggota Komisi III DPR ini berharap spekulasi, rumor, dan praduga yang berkembang bisa selesai dengan proses yang dilakukan KPK secara fair dan transparan. “Semakin cepat dituntaskan, maka spekulasi (terhadap PD) akan cepat berakhir,” katanya.
Komisioner KPK Bibit Samad Riyanto menegaskan Presiden SBY menyebutkan agar KPK mengusut kasus suap Sesmenpora. "Presiden titip pesan, `hantam saja semua` (pelaku dugaan korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga atau Kemenpora - Red)," kata Bibit di Nusa Dua, Bali, Senin (9/5/2011) malam. [mdr]

Hasil demokrasi : anggota DPR Gerindra mabuk di diskotik


Anggota DPR Ketahuan Mabuk di Diskotek
Jum'at, 06 Mei 2011 , 13:45:00 WIB
Laporan: N. Julius Permana

ILUSTRASI
  
RMOL. Seorang anggota DPR perempuan tertangkap basah sedang berdansa sambil mabuk-mabukan di atas meja sebuah diskotek ternama di Jakarta, Kamis malam (5/5).

Kabar tersebut beredar luas di kalangan wartawan DPR (Jumat, 6/5).

Diduga anggota tersebut berasal dari Komisi VI dan bernisial NDH. NDH disebut-sebut berasal dari fraksi yang tidak memiliki kursi yang terlalu banyak.

Keberadaan NDH dalam acara tersebut untuk menghadiri ulang tahun koleganya. Dalam pesta ulang tahun tersebut. Karena terlalu mabuk, dia naik ke atas meja sambil membagikan kartu nama. [yan]

Anggota DPR Boleh Mabuk-mabukan, Asal ...
Headline
Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR Nudirman Munir - inilah.com/Ferdian
Oleh: Mevi Linawati
INILAH.COM, Jakarta - Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR Nudirman Munir menyatakan, tak ada larangan bagi para wakil rakyat untuk meminum minuman alkohol hingga mabuk.

Namun syaratnya, sang anggota DPR yang mabuk tersebut tidak melanggar ketertiban umum. Jika yang bersangkutan mabuk tapi tak mengganggu maka tidak perlu dipersoalkan.

"Kalau mabuk saja tidak ada sanksinya, tapi kalau dia menganggu kepentingan umum baru ada sanksinya," terangnya. Namun demikian, Nudirman menegaskan kalau BK belum bisa menindaklanjuti kasus Noura.

Sebelumnya diberitakan, anggota Komisi VI DPR RI Noura Dian Hartarony (NDH) membantah kabar yang menyebutkan dirinya meminum minuman keras sehingga mabuk di salah satu klub malam. "Nggak benar sama sekali kalau saya dikatakan mabuk-mabukan dan sampai naik ke meja segala," kata Noura, Jakarta, Jumat (6/5/2011).

Politisi berparas cantik ini menduga ada pihak yang ingin menjatuhkannya karena dirinya sedang membongkar kasus korupsi. "Saya sering ada ancaman, karena kasus yang sedang saya tangani, kasus korupsi," ujar Noura saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/5/2011).

Noura mengatakan dirinya sendiri sangat alergi dengan alkohol karena mengidap penyakit maag. "Bagaimana bisa saya mabuk-mabukan sampai naik ke atas meja sama sekali. Juga apakah saya akan mencelakakan diri saya sendiri karena saya nyetir mobil dalam keadaan mabuk," terangnya. [mah]

Jumat, 06 Mei 2011

HASIL DEMOKRASI KAPITALIS LIBERALIS

K0m1518eTY4H00d0TC0M

Jumat, 06/05/2011 05:33 WIB | WWW.ERAMUSLIM.COM
Kamis siang (5/5), wajah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tampak sedikit ‘kencang’. Di depan wartawan yang mengerubunginya, politisi Golkar tersebut mengeluhkan kritik dan kecaman yang terus-menerus menyerang institusi tempatnya mencari nafkah. Terakhir dia mengeluhkan sikap pelajar Indonesia di Australia terkait email bodong Komisi VIII.
“Janganlah kita senang meributkan hal-hal kecil, di antaranya meributkan SMS, email, untuk hal-hal yang sebenarnya perlu dicari jalan keluar untuk hal-hal yang bersifat subtantif,” keluh Priyo sembari mengatakan jika kritik yang mengarah ke DPR mulai mengada-ada dan bahkan lembaga yang seharusnya terhormat ini menjadi bahan olok-olokan rakyat.
Sikap Priyo ini bermula dari kasus pelesiran anggota DPR dari Komisi VIII yang mengurusi masalah agama dan sosial dengan dalih hendak studi banding penuntasan masalah fakir miskin, padahal parlemen Australia sedang reses alias libur.
Adalah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang dengan berani menanggap mereka dan menggelar acara tanya jawab. Peristiwanya bisa dibaca di banyak situs di internet, juga videonya di youtube. Memalukan, memang. Apalagi ketika Ibu Astriani Sinaga, staf ahli Komisi VIII dari PKS, menjawab, “Emailnya komisidelapanatyahoodotcom…”
Setelah dicek, ternyata tidak ada alamat email seperti yang disebutkan. Hal ini menjadi bahan perbincangan di dunia maya dan kemudian diangkat di media massa nasional. Jika benar anggota DPR punya akun email di situs umum seperti Yahoo atau Google, ini patut disayangkan karena semua data yang ada bisa diintip Amerika. Namun ada juga yang curiga, jika anggota Komisi VIII menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui DPR, karena DPR sendiri sesungguhnya punya web hosting khusus, yang berarti dengan sendirinya email untuk masing-masing Komisi pasti ada.
Logikanya, jika Komisi VIII tidak memakai fasilitas itu, kemungkinan ada sesuatu hal yang ditutup-tupi oleh Komisi VIII yang tak boleh diketahui DPR.
PPI Australia sendiri dalam evaluasinya atas pelesiran Komisi VIII DPR menyebutkan jika studi banding itu ternyata hanya mendengarkan presentasi dari perwakilan Australia, dan materi yang disampaikannya juga bisa dengan mudah diunduh lewat internet, sehingga Komisi VIII seharusnya tidak perlu repot-repot pergi ke Australia. Apalagi ditemukan bukti jika yang namanya proses studi banding mengenai kemiskinan itu ternyata dilakukan di Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, bukan di pemukiman Aborigin yang memang kumuh atau di kantor pelayanan terkait.
Dan yang lebih memprihatinkan, ternyata kemampuan berbahasa asing yang dimiliki para delegasi DPR ini minim, sehingga di dalam pertemuan yang banyak dipakai adalah “bahasa Tarzan”. Banyak dari mereka yang ketika menerima buklet atau buku berbahasa Inggris pura-pura membaca, padahal ora mudeng alias tidak mengerti dengan isinya.
Jika Komisi VIII pelesiran ke Australia, maka Komisi X DPR pelesiran ke Spanyol. Parlemen Spanyol juga sedang libur sehingga mereka benar-benar memanfaatkan pelesiran ini dengan tamasya. Apalagi di antara mereka ada yang membawa serta isteri dan anak, sama seperti yang dilakukan Komisi VIII yang ke Australia. Anggota Komisi X menyempatkan diri piknik mengunjungi klub Real Madrid dan Barcelona. Rombongan wakil rakyat itu beramai-ramai melihat stadion megah milik 2 klub raksasa Eropa tersebut.
Tidak mau ketinggalan, Komisi I DPP juga pelesiran di Perancis dan Italia. Bahkan sebagian anggota yang juga bawa isteri dan anak, meminta izin untuk tidak ikut pulang bersama rombongan dan meneruskan pikniknya bersama anak dan isteri di Perancis maupun Italia.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengiyakan hal ini, “Ada yang minta izin, silakan. Selesai acara, mau tinggal silakan, biaya sendiri, pulangnya berbeda, silakan. Asalkan tidak mengganggu perjalanan.” (24/4)
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kunjungan itu hanyalah sebagai upaya menghambur-hamburkan uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak. Untuk 2011 saja, kunjungan ke berbagai negara anggota DPR itu menghabiskan Rp.12,7 miliar. Kunjungan ke Prancis dan Italia menghabiskan Rp.944,5 juta. Anggaran paling banyak dihabiskan untuk dua kali kunjungan ke Amerika Serikat dan Spanyol yang menghabiskan Rp.5,8 miliar. Dua kali kunjungan itu dilakukan oleh anggota Komisi I dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR.
Kelakuan anggota DPR ini kian hari memang kian menjadi-jadi. Diawali dari acara pelantikan anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014 saat itu yang sangat mewah dengan menelan biaya sekitar Rp.11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Padahal rakyat Indonesia sedang banyak yang kelaparan.
Metro TV (7/9/2009) menyebutkan jika biaya pembuatan pin anggota DPR saja mencapai Rp.5 juta perorangnya. Dan biaya Rp.11 miliar itu baru dari KPU saja, belum ditambah dari kas DPR sendiri (baca: uang rakyat) sebesar Rp.26 miliar atau sekitar Rp.46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan ditanggung rakyat) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta (Kompas.com, 9/9/2009).
Lalu yang santer belakangan ini adalah rencana konyol pembangunan gedung DPR yang akan menghabiskan biaya sekitar Rp.1,8 triliun rupiah. Ketika mendapat kecaman masyarakat, DPR pun mendiskonnya beberapa kali, hingga tinggal “hanya” Rp.1,138 triliun saja. Luas ruangan kerja bagi setiap anggota DPR di gedung baru nanti direncanakan 111 meter persegi, dengan total biaya per-ruangan sekitar Rp.800 juta. Ini belum termasuk meubel dan laptop.
Ketika rakyat memprotes rencana penuh kemubaziran tersebut, Ketua DPR Marzuki Alie dengan entengnya bilang jika rakyat tidak perlu diajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut, karena mereka tidak bisa paham. “Ini cuma orang-orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru DPR), rakyat biasa tidak bisa dibawa,” ujar Marzuki Alie kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (1/4/2011).
Kelakuan bejat anggota DPR yang lainnya adalah melakukan perzinahan dengan sekretaris pribadinya, selingkuh, korupsi, bahkan sempat-sempatan asyik nontop film porno di saat sidang paripurna. Padahal mereka sudah menerima gaji dan tunjangan ini dan itu yang sangat besar, rumah dinas mewah, mobil dinas terbaru berharga miliaran rupiah, dan fasilitas dahsyat lainnya. Gila, memang.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan, mendapatkan temuan jika setiap kali kunjungan ke luar negeri, maka tiap anggota Dewan pasti mendapat uang saku sebesar Rp.20-28 juta dan uang representasi sekitar Rp.20 juta. Koalisi Masyarakat Sipil memperkirakan, pada tahun 2010 dana studi banding DPR RI mencapai Rp.162,94 miliar dan berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi.
Menurut hitung-hitungan FITRA terhadap APBN 2011, misalnya, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ membengkak, dari rencana awal Rp.20,9 triliun dalam RAPBN 2011, menjadi Rp.24,5 triliun dalam APBN 2011. Menurut data yang dimiliki FITRA, belanja perjalanan ke luar negeri merupakan belanja yang terus membengkak setiap tahunnya.
Dalam APBN 2010 pun, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp.16,2 triliun, lalu membengkak menjadi Rp.19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011). Membengkaknya anggaran perjalanan di APBN 2011 ini tentu bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi juga DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011.
Sekarang coba kita bandingkan. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp.5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari Rp.19,8 triliun di APBN-P 2010 menjadi Rp.13,6 triliun di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp.209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp.50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan. Ini berarti uang saku perjalanan dinas anggota DPR sekali jalan ke luar negeri adalah 500 kali lipat lebih banyak ketimbang uang jaminan gizi buruk seorang balita bangsa ini selama satu tahun!
Gambaran ini hanya sebagian kecil potret anggota DPR kita. Jika demikian, rasanya wajar jika banyak orang menjadi muak terhadap mereka. Apakah Anda masih mau menyebut mereka sebagai “Anggota Yang Terhormat”? You Decided…
Dan bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di negara-negara lainnya, apa yang dilakukan PPI Australia terhadap anggota Komisi VIII bisa menjadi contoh yang sangat baik, di mana peran intelektual sebagai penjaga garda moral terdepan, dilakukan dengan berani dan cerdas. Jika ada lagi anggota DPR yang pelesiran ke luar negeri, kawal mereka dan jika perlu buat laporan harian dengan menyebut jam per jam apa saja yang mereka lakukan di negeri orang itu.
Apakah mereka memang bekerja demi bangsa dan negara seperti yang selama ini selalu mereka klaim, atau malah piknik bersama keluarga. Buat catatan tertulisnya, rekam audionya, dan juga videonya. Unduhlah di You Tube agar semua orang bisa menyaksikan apa yang mereka kerjakan. [rz]
 
 
 
 

A

JANGAN BAYAR PAJAK

Pajak dan Negara Vampire

Rabu, 27/04/2011 09:11 WIB | www.eramuslim.com
 Sahabat saya punya teman. Orang pajak. Sahabat saya yang baru tiga bulan kembali dari Australia itu berniat beli rumah cukup besar di kompleks perumahan mewah di pinggiran Jakarta. Cash, tidak kredit. Orang pajak itu memberi advis. Katanya, pakai kredit saja, pajaknya lebih kecil, kalau cash pajaknya jauh lebih besar.
Logika yang dipakai, kata orang pajak tadi, kalau beli kredit maka negara menganggap kita tidak mampu, tapi kalau beli cash maka negara menganggap kita orang mampu dan besaran pajaknya pun jauh lebih besar.
Sahabat saya protes. Lha, waktu usahanya bangkrut waktu krisis 1998, negara tidak mau membantunya. Sejumlah proposal permintaan kredit yang diajukannya untuk modal usaha ke berbagai bank pemerintah ditolak. Anaknya yang terancam putus sekolah pun tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Akhirnya dia pinjam uang dari sana-sini dan hijrah ke Australia untuk memulai usaha di sana. Meninggalkan anak isterinya selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya dia “bisa bernafas kembali”. Ketika usahanya sudah stabil di negeri orang, barulah dia kembali ke Jakarta.
“Negara ini tidak pernah membantu saya. Negara ini tidak pernah membuat saya pintar. Untuk menyekolahkan anak agar pintar, saya harus merogoh kocek dalam-dalam. Jika sakit, saya juga harus membayar dokter dan membeli obat dengan harga premium. Namun ketika usaha saya berhasil, atas kerja keras sendiri, tentunya dengan izin Allah, negara ini dengan seenaknya mau minta uang pada saya dalam bentuk pajak. Apa bedanya negara ini dengan tukang palak? Indonesia sekarang ini sudah jadi Vampire State, yang hidup dengan menghisap darah rakyatnya sendiri!”
Orang pajak tadi terdiam. Mungkin dalam hatinya dia mengamini pernyataan temannya itu. Sebagai “orang dalam”, walau statusnya hanya pegawai rendahan, dia tahu betul kekotoran apa yang terjadi di dalam institusi tempatnya bekerja. Dia yakin, apa yang terjadi di institusinya hanyalah sebuah miniatur dari kenyataan yang jauh lebih parah dan massif yang terjadi di semua strata birokrat negeri ini, dari tingkat Kepala RT, RW, Lurah, Camat, Walikota, sampai anggota DPR dan Presiden.
Sahabat saya yang lain, baru saja membeli sebidang tanah di Bekasi, tidak begitu besar. Dia bercerita bahwa untuk membeli tanah saja dia harus nyetor uang ke sana-sini, dari Pak RT sampai pejabat di atasnya. Belum lagi untuk mengurus aktenya. Dan ketika di atas tanah tersebut dia ingin membangun rumah kontrakkan atas namanya sendiri, dia kembali harus menyetor sejumlah dana ke pihak yang sama.
“Pak RT saja sampai minta satu juta rupiah,” keluhnya. “Padahal itu tanah milik saya, saya juga membangun dengan uang saya sendiri, kenapa mereka minta bagian?” keluhnya. Dia juga mempertanyakan dasar diadakannya IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Dia bilang buat apa minta izin, harus membayar uang pula, padahal dia membangun di tanahnya sendiri, bukan di tanah orang lain apalagi tanah pemerintah.
Kedua sahabat saya itu bukan orang bodoh, walau belum bergelar profesor, karena semua gelar di negeri ini bisa dibeli dengan harga yang tidak terlalu mahal. Mereka gila baca buku, berpikiran kritis, dan pekeja keras. Mereka tahu benar hakikat dan filosofi pajak. Mereka tahu kalau IMB itu sebenarnya hanya salah satu trik dari pemerintah daerah untuk memenuhi pundi kas daerahnya.
Welfare State Versus Negara Vampir
Konstitusi negara mengamanahkan negara agar mengayomi, melindungi, dan memenuhi hak-hak rakyatnya. Bagi anak-anak tidak mampu, negara wajib memeliharanya. Bagi orang miskin, negara wajib menyantuninya. Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, wajib menggunakan seluruh kekayaan alam negeri yang ada semata-mata untuk mensejahterakan rakyatnya, wajib memberikan rasa aman, wajib melindungi rakyatnya dari apa pun juga. Ini semua termaktub dengan jelas di dalam konstitusi negara.
Di dalam konstitusinya, Indonesia menginginkan menjadi sebuah negara berkesejahteraan (Welfare State). Untuk bekerja demi memenuhi semua hak-hak dasar rakyat inilah, negara memerlukan biaya. Salah satunya dari pajak yang merupakan suatu elemen terpenting untuk kepentingan penyejahteraan rakyat. Dengan membayar pajak, rakyat akan mendapatkan fasilitas publik yang memadai seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, pangan dan sandang yang murah, serta tunjangan sosial bagi mereka yang tidak mampu.
Dengan pajak, orang Jerman bisa memperoleh pendidikan gratis, orang Inggris bisa menikmati biaya rumah sakit dan pengobatan gratis, lalu di beberapa negara federal Amerika orang bisa bertelepon-ria tanpa dipungut biaya, dan di banyak negara Eropa ada tunjangan sosial bagi orang jompo, orang cacat, dan pengangguran.
Di Indonesia, semuanya harus bayar. Bahkan untuk pipis saja pun dikenakan biaya. Hanya tertawa dan—maaf—kentut yang belum dikenai pajak di negara ini.
Mungkin saja ada yang mengemukakan dalih jika pajak kita masih terlalu kecil dibandingkan dengan pajak di negara-negara yang telah sejahtera. Namun, bila dilihat realita yang ada, alasan itu tidaklah benar. PPN di negara Eropa, misalnya, sesuai dengan proposal European Union, dipatok hanya 14-20%. Di Inggris hanya 17,5%, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Namun dengan pajak sebesar itu, mereka bisa memberikan fasilitas publik yang sangat memuaskan. Negara-negara tersebut, yang kekayaan alamnya tidak sedahsyat Indonesia, mampu memberikan layanan publik sangat baik dengan hanya menarik pajak yang tidak terlalu banyak selisihnya dengan yang ditarik oleh pemerintah Indonesia.
Di Indonesia, semua orang dikenakan pajak. Kian hari pajak kian tinggi. Sama seperti retribusi jalan tol yang kian hari kian besar, padahal kenyataannya, jalan tol kian hari kian macet, dan pemeliharaannya pun kian memprihatinkan. Di Indonesia, hanya pejabatnya yang hidup kian sejahtera, mendapat fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar, anggota DPR-nya pelesiran ke luar negeri bersama anak isteri, semuanya dibiayai dari uang pajak (baca: merampok rakyat). Namun fasilitas umum dan tunjangan sosial bagi rakyat nihil. BAhkan banyak dari sektor yang sebenarnya hak milik rakyat malah diswastanisasikan.
Salman Luthan dan Agus Triyanta, dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dalam Jawa Pos (11/10/2005) menulis dengan cukup tajam masalah pajak di negeri ini, “Apa bedanya antara perampok dan negara? Keduanya sama-sama mengisap uang rakyat. Keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, negara terdiri atas kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat diisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang tersebut oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, niscaya negara itu juga sama saja dengan perampok, yaitu perampok yang terorganisasi.”
Di negara vampir seperti Indonesia sekarang ini, pajak hanya digunakan untuk memperkaya sebagian golongan yang berkuasa. Padahal mereka juga memperkosa kekayaan sumber daya alamnya. Indonesia yang sekarang dikuasai oleh orang-orang rakus dan serakah bermental korup ini memang harus didekontsruksi ulang. Rakyat harus bangkit dan bergerak melindas mereka semua.
Mungkin sebab itu, Islam mengharamkan pajak. Hal ini pernah ditegaskan Dr. Daud Rasyid dalam suatu kajian keislaman di Jakarta beberapa tahun lalu. Islam membangun negerinya bukan dengan pajak, tetapi dengan kekayaan alam yang dimiliki dan dengan usaha yang penuh keberkahan. Wallahu’alam bishawab. [rz]
 
 
 
 

A

Senin, 02 Mei 2011

Antara Hanung Bramantyo dan Muhammad Syarif

Antara Hanung Bramantyo dan Muhammad Syarif

Kamis, 21/04/2011 07:09 WIB | email | print

Boleh jadi Hanung merasa sedang menggarap tema kerukunan lewat film, namun yang ia hasilkan justru merusak kerukunan, sekaligus memberi stereotype yang buruk tentang Islam… Kerusakan yang dikemas begitu indah, syahdu dan melenakan, biasanya lebih dahsyat hasil akhirnya. Siapa yang membiayai Hanung memproduksi kerusakan tadi, terlihat begitu jelas dan tegas.
Sementara itu Muhammad Syarif (32 tahun) di akhir hayatnya menorehkan ‘karya’ yang juga kontroversial, berupa bom bunuh diri di mesjid Mapolresta Cirebon, Jawa Barat (Jum’at, 15 April 2011).
Waktu-waktu sebelumnya, ketika GAPAS melakukan aksi pembubaran Ahmadiyah di Kuningan, Muhammad Syarif sudah lebih dulu berada di lokasi, padahal ia tidak diajak serta. Begitu juga ketika GAPAS terlibat dalam aksi demo persidangan terdakwa aliran sesat, Muhammad Syarif nimbrung ke dalam barisan aksi tanpa undangan. Tidak sekedar nimbrung, bahkan Syarif melakukan aksi vandalistis (perusakan) yang membuat peserta lainnya kesal.
Siapa yang telah ‘mendidik’ Syarif sehingga ia menjadi sedemikian radikal, dan siapa pula yang membiayai Syarif? Itu semua tidak jelas.
***
Kedua sosok ini berada di dalam dua dunia yang berbeda. Bahkan tidak saling kenal satu sama lain. Hanung Bramantyo (35 tahun) adalah sutradara populer yang sejumlah karya sinematografinya akhir-akhir ini mengundang kontroversi, seperti film Perempuan Berkalung Sorban dan film “?” (tandatanya). Sedangkan Muhammad Syarif (32 tahun), sama sekali tidak terkenal, namun di akhir hayatnya menorehkan ‘karya’ yang juga kontroversial, berupa bom bunuh diri di mesjid Mapolresta Cirebon, Jawa Barat (Jum’at, 15 April 2011).
Akibat tingkah bom di masjid itu, stigmatisasi atau cap buruk Islam teroris pun ada yang buru-buru melontarkannya lewat media, dan itu sangat menyinggung perasaan Ummat Islam. (lihat nahimunkar.con, Stigma Islam Teroris dalam Kasus Bom Cirebon, Telah menyinggung perasaan Umat Islam Indonesia, April 19, 2011 9:50 pm, http://www.nahimunkar.com/stigma-islam-teroris-dalam-kasus-bom-cirebon/#more-4751)
Kesamaannya, kedua orang muda ini lahir di tengah-tengah keluarga Islam yang baik dan taat. Hanung lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Oktober 1975. Ayahnya aktivis Muhammadiyah. Sejak Taman Kanak-kanak hingga SMA, Hanung bersekolah di lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah. Bahkan sempat nyantri di salah satu pondok pesantren NU yang dimpimpin Kyai Siraj, di Klaten, Jawa Tengah.
Orangtua Muhammad Syarif, adalah seorang pemuka agama lokal yang sangat dikenal berbagai kalangan dan etnis yang ada di kawasan Cirebon dan sekitarnya. Pendidikan formal Syarif dari SD hingga SMA ditempuh di Cirebon. Selain itu, Syarif juga pernah nyantri di beberapa pondok pesantren, meski tidak lama. Menurut Abdul Ghafur (66 tahun), orangtua Syarif, anaknya itu pernah nyantri di sebuah ponpes di Cirebon, Kediri (Jawa Timur), dan Solo (Jawa Tengah).
Hanung Bramantyo
Sejak kelas 4 sekolah dasar, Hanung sudah gandrung dengan seni teater. Dunia teater yang dimasukinya pertama kali adalah Teater Al-Kautsar yang berbasis di mesjid. Minat berteater Hanung terus berlanjut, hingga ia menduduki bangku SMP dan SMA. Ketika di SMA, minat berteaternya tidak mendapat dukungan kondusif dari pihak sekolah. Bahkan seni teater dianggap kegiatan yang tidak syar’i oleh pihak sekolah. Puncaknya Hanung patah arang. Karena minat berteaternya tidak terakomodasi, maka sejak saat itu ia menjadi sekuler, nakal, menolak Islam, tidak suka dengan Muhammadiyah. “…Itulah awal karir saya menjadi ‘murtad’…” Kata Hanung.
Kondisi itu terus berlanjut hingga Hanung menduduki bangku pendidikan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Minat berteaternya bagai fondasi yang kuat untuk menjadi sineas. Tentu bukan IKJ yang mengarahkan Hanung menjadi sineas yang cenderung mempromosikan syirik modern (pluralisme), sebagai mana dituduhkan oleh KH A. Cholil Ridwan (Ketua MUI Bidang Budaya). Boleh jadi, itu pilihan Hanung sendiri.
Tentu bukan IKJ yang mengajarkan Hanung untuk mempropagandakan paham liberalisme, budaya jahiliyah, bahkan nilai-nilai Kristiani melalui film Perempuan Berkalung Sorban, sebagaimana dituduhkan sineas Chaerul Umam, senior Hanung sendiri. Tentu bukan Kyai Siraj yang mengajarkan Hanung untuk mendiskreditkan pesantren melalui film garapannya, sebagaimana dituduhkan KH. Prof Dr Ali Mustafa Yakub (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI). Boleh jadi, itu pilihan Hanung sendiri.
Tentu bukan ayahanda Hanung yang memilihkan sosok murtad seperti Lukman Sardi memerankan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri ormas Muhammadiyah), dalam film berjudul Sang Pencerah. Tentu bukan ibunda Hanung –mualaf keturunan Cina– yang memilihkan cuplikan kisah dari Injil tentang pelacur Magdalena yang dilempari batu, untuk diadopsi ke dalam salah satu adegan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Boleh jadi, itu pilihan Hanung sendiri.
Meski Hanung dari keluarga Islam, bahkan bersekolah di lembaga pendidikan yang dikelola ormas Islam, tidak serta-merta menjadikannya sebagai sosok yang punya ghirah terhadap Islam. Bisa saja kebalikannya yang terjadi, disadari atau tidak. Boleh jadi Hanung merasa sedang menggarap tema kerukunan, namun yang ia hasilkan justru merusak kerukunan, sekaligus memberi stereotype yang buruk tentang Islam, sebagaimana dituduhkan Adian Husaini.
Itu semua adalah pilihan Hanung. Ia mau menjadi kafir, murtad, menjajakan marxisme, komunisme, liberalisme, dan sebagainya, belum tentu ada kaitan dengan orangtua yang mengasuhnya dan lembaga pendidikan yang pernah dimasukinya. Hanung yang percaya kepada kekuatan akal, bisa memilih mana yang dia suka dan tidak suka. Namun yang jelas, dalam menggarap sebuah karya sinematografi, Hanung tidak sendiri. Ada sejumlah orang yang terlibat. Produser penyandang dana, penulis skenario, dan sejumlah pihak lainnya. Semuanya bermuara kepada keuntungan, baik materi maupun non materi. Keuntungan non materi bisa berupa propaganda ideologis.
Muhammad Syarif
Sementara itu, Muhammad Syarif selain menempuh pendidikan formal dan keagamaan, juga membekali dirinya dengan kursus keterampilan komputer. Yang jelas, bukan keterampilan merakit bom low explossive. Menurut dugaan pengamat terorisme Mardigu WP, Muhammad Syarif membuat bom itu sendiri. Tehnik pembuatan bom seperti itu, mudah diperoleh di internet, demikian juga bahan-bahannya mudah diperoleh. Yang jelas, menurut Mardigu, pembuat bom bukan orang stres, karena memerlukan ketelatenan.
Menurut keterangan Abdul Ghafur, ayahanda Muhammad Syarif, anaknya itu punya persentuhan dengan gerakan-gerakan yang disebut Islam garis keras. Muhammad Syarif ikut menjadi bagian dari massa yang memerangi aliran dan paham sesat serta pemurtadan. Ketika berada di rumah, ia bersikap keras terhadap orangtuanya. Bahkan ayahandanya sendiri pernah disebut kafir. Ini menunjukkan bahwa sikap radikal dan ekstrem seperti itu bukan berasal dari didikan orangtuanya yang tenang dan konvensional. Apalagi, selama 13 tahun Muhammad Syarif terpisah dari keluarganya.
Boleh jadi, Muhamamd Syarif memang punya kecenderungan ekstrem dan radikal, kemudian menjadi aktual ketika mendapat stimulasi dari lingkungan pergaulannya. Menurut Abdul Ghafur, sejak 2009 Muhammad Syarif terlihat ikut pengajian Ba’asyir, dan sejak itu pula sikap Syarif berubah. Abu Bakar Ba’asyir adalah pimpinan JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid). Sementara itu, JAT sendiri menyangkal punya anggota bernama Muhammad Syarif. Bahkan JAT menyatakan bahwa “…serangan bom ke dalam masjid dan jama’ah yang sedang atau hendak shalat adalah perbuatan haram…”
Selain bersentuhan dengan komunitas Ba’syir, Muhammad Syarif juga bersentuhan dengan komunitas GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat) Cirebon, yang diketuai oleh Andi Mulya. Namun menurut Andi Mulya, Muhammad Syarif bukan anggota GAPAS atau FUI (Forum Umat Islam), meski kerap terlibat di dalam aksi yang digelar keduanya.
Andi Mulya pertama kali mengenal Muhammad Syarif sekitar tiga tahun lalu. Namun sekitar satu setengah tahun belakangan ini, Syarif tidak terlihat mengikuti pengajian di Masjid At-Taqwa. Menurut Andi Mulya, Muhammad Syarif adalah sosok yang tempramental dan keras. Andi Mulya yang sempat menjadi kepala keamanan Masjid At-Taqwa, Cirebon, pernah mendapat laporan dari jama’ah berkenaan sikap keras Syarif. Antara lain, Syarif membangunkan jama’ah yang tidur di Masjid At-Taqwa dengan cara menendang orang bersangkutan. Ia memang tidak senang bila masjid dijadikan tempat tidur.
Muhammad Syarif ternyata juga masuk ke dalam DPO (daftar pencarian orang) polresta Cirebon, karena terlibat perusakan Alfamart saat melakukan razia minuman keras. Saat itu, menurut Andi Mulya, Syarif mengatasnamakan Gabungan Remaja Masjid Kota Cirebon. Sama sekali tidak terkait dengan GAPAS. Saat itu selain Syarif yang juga terlibat perusakan Alfamart Cirebon adalah Agung. Menurut keterangan aparat, Agung adalah anak dari Tatang, koordinator JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid) Wilayah III, yang membawahi kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Begitu juga ketika GAPAS melakukan aksi pembubaran Ahmadiyah di Kuningan, Muhammad Syarif sudah lebih dulu berada di lokasi, padahal ia tidak diajak serta. Begitu juga ketika GAPAS terlibat dalam aksi demo persidangan terdakwa aliran sesat, Muhammad Syarif nimbrung ke dalam barisan aksi tanpa undangan. Tidak sekedar nimbrung, bahkan Syarif melakukan aksi vandalistis (perusakan) yang membuat peserta lainnya kesal.
Dua pekan sebelum Syarif melakukan aksi bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon, ia terlibat pembunuhan terhadap Kopka Sutejo, anggota Kodim Sumber, Cirebon. Pembunuhan itu berlangsung sekitar 2 April 2011, di Desa Cempaka, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Selain menewaskan Kopka Sutejo, Syarif juga melakukan percobaan pembunuhan terhadap warga sipil bernama Ali. Namun Ali selamat dengan luka di bagian leher.
Saat itu Syarif sedang berada di sebuah warung milik Ali. Pembicaraan Syarif dan rekannya soal bom terdengar oleh Ali. Maka, Ali pun melaporkan hal itu kepada Kopka Sutejo (anggota Kodim 0620 Sumber). Kopka Sutejo menindaklanjuti laporan tersebut dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Syarif. Karena tersudut, Syarif dan rekannya mengambil tindakan nekat, menghabisi nyawa Kopka Sutejo.
Aksi bom bunuh diri Muhammad Syarif di Masjid Mapolresta Cirebon yang disebut haram dan bukan jihad itu, ternyata memang diniatkan sebagai jihad oleh Syarif sendiri, sebagaimana bisa ditangkap melalui surat pernyataan yang ditulisnya sendiri. Surat pernyataan itu ditemukan aparat saat menggeledah kediaman mertua Syarif di Majalengka. Surat pernyataan itu terselip dalam sebuah buku berjudul “Jihad di Asia Tengah, (Perang Akhir Zaman)” karangan Syekh Abu Mus’ab As Suri. Isinya:
Bahwa saya: Muhammad Syarif
Insya Allah / atas izin Allah, sangat, sangat !!!!!!

“Meninggal Syahid” Bukan karena ingin disebut Mujahid tetapi kemuliaan Syahid telah melekat berat di hati. Dengan janji dari yang menciptakan saya dan yang akan mensucikan saya Yaitu janji Allah.......Allah.......Allah.
Pesan saya: "Sungguh kehidupan dunia hanya menipu. Wass
Apa yang membuat Muhammad Syarif begitu yakin dengan aksi bom bunuh dirinya sebagai sebuah langkah jihad? Padahal, ormas-ormas yang namanya terkait dengan aksi Syarif justru menyatakan tindakan itu haram, bukan jihad, bahkan pengecut. Hanya Syarif dan rekan-rekannya yang tahu.
***
Yang jelas, dalam pandangan Abdul Ghafur, ayahanda Muhammad Syarif, tindakan sang anak sangat memalukan keluarga, sangat membebani keluarga. Begitu juga kiranya yang dirasakan umat Islam pada umumnya. Tingkat kerusakan yang dihasilkan oleh ‘karya’ kontroversial Muhammad Syarif sangat bisa dirasakan dengan jelas dan tegas. Namun, yang masih abstrak adalah siapa yang telah ‘mendidik’ Syarif sehingga ia menjadi sedemikian radikal, dan siapa pula yang membiayai Syarif? Itu semua tidak jelas.
Berbeda dengan Muhammad Syarif, karya kontroversial Hanung Bramantyo tidak begitu bisa dirasakan dengan jelas dan tegas sebagai sebuah kerusakan. Karena kerusakan yang diproduksi Hanung begitu indah dan syahdu. Bahkan melenakan. Namun, siapa yang membiayai Hanung memproduksi kerusakan tadi, terlihat begitu jelas dan tegas.
Kerusakan yang dikemas begitu indah, syahdu dan melenakan, biasanya lebih dahsyat hasil akhirnya. Hanya Allah yang berwenang memberi hidayah atau melaknat mereka yang terlibat di dalam upaya merusak akidah umat, merusak agama Allah. (haji/tede)