Rabu, 13 April 2011

kisah seorang kader ecek-ecek


Perjalanan seorang kader dakwah ecek-ecek
Maha suci allah yang telah mempertemukan aku dengan jamaah ini pada medio 1997. Seorang al akh memperkenalkan aku dengan jamaah ini sebagai jamaah yang memahami dan menjalankan Islam secara syamil. Betapa indah masa itu. Ukhuwah dan persaudaraan dibangun di atas landasan keimanan dan keislaman yang lurus. Rasanya aku bangga menjadi jundi-jundi dakwah.
Masa-masa berlalu. Berpindah dari satu murobbi kepada murobbi yang lain. Berpindah dari satu daerah ke daerah lain tanpa terpisah dengan jamaah ini. Tak hanya membahas materi, tapi kami terjun dalam aksi. Tak hanya di tarbiyah, tapi kamipun aktif mentarbiyah. Tak hanya bersaudara, tapi kami saling mengorbankan diri masing-masing demi kebahagiaan saudaranya. Ooo, i’m happy mujahid.
Lalu,entah kapan pastinya suasana berubah. Halaqoh kami kini berisi diskusi-diskusi tak bermutu. Lalu akupun dipertemukan dengan momen-momen yang mengubah cara pandangku. Biidznillah, aku bertemu dengan Ust. Al Muzammil Yusuf. Dan masih mengingat kata-katanya bahwa segala cara yang dipilih DPP/Qiyadah dalam mengelola partai/jamaah adalah melalui proses trial and error. Padahal saat itu aku berpikir bahwa metodologi dan segala cara yang digunakan telah ada blue printnya dari ikhwanul muslimin mesir sana. Kupikir,segala jalan adalah jalan yang suci dan ma’sum yang tak perlu dipertanyakan lagi. Ya memang, aku saat itu lagi gandrung pada ikhwanul musliminnya Hasan Al Banna.
Biidznillah pula, aku berurusan dengan seorang tokoh sastra yang juga seorang akhwat petinggi partai. Dalam urusan yang tidak menyenangkan. Aku dalam upaya menengahi kekisruhan rumah tangga teman kami yang suaminya terus menerima gangguan dan godaan dari akhwat ini yang tergila-gila dengan suami teman kami. Padahal akhwat tersebut telah memiliki suami dan beberapa orang anak. Entah dogma sastra apa yang merasukinya. Akupun tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi.
Biidznillah, murobbi terakhirku mengisi halaqoh kami dengan pilKADAL-pilKADAL. Masih teringat jelas ketika beliau dengan ringannya menceritakan cara-cara cerdiknya(yg menurutku cara yang liar) untuk memenangkan pemilihan caleg. Intimidasi dan pengerahan preman(yang menurutnya simpatisan dakwah) menjadi bagian strategi. Kita harus menggunakan cara-cara yang sama digunakan partai lainnya. Demikian menurutnya. Beruntunglah umat, dia tak terpilih (lagi).
Kasihan semua yang menjadi mutarobbi. Dan kasihan pula para murobbi yang masih lurus. Dan Beruntung bagiku. Seorang ikhwan, arrijalud da’wah,yang menjadi tetangga jauh kami, kami ketahui kehanifannya. Kami ketahui keikhlasannya. Kami ketahui pengorbanannya. Kami ketahui juga kemiskinan tak menghalanginya tetap berDakwah. Kami ketahui, sepertinya ia masih sangat bersabar dengan jama’ah ini. Mungkin ia berfikir, regenerasi kader dakwah akan terjadi juga dan menggantikan dahan-dahan yang mulai lemah dan busuk. beruntung jamaah ini masih memiliki beliau. Dan aku yakin, orang-orang shalih didalam jamaah ini masih banyak, meski mungkin sedang pada gundah atas kelakuan elit2nya. Mengingatnya membuat aku lebih tenang. Harapan itu masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bismillah